Friday 7 March 2014

Surat Terakhirku

Cerita ini berawal dari sebuah persahabatan antara aku dengan seorang laki laki yang bernama Edo. Sebut saja namaku Ida, aku tinggal di Kalbar, tepatnya sambas. Umurku 16 tahun sedangkan Edo 17 tahun. Kami tinggal di kota yang sama.

Edo adalah teman masa kecilku, sejak SD kami selalu bersama, kami juga satu kelas dan bahkan satu meja hingga ke Sekolah Menengah Atas. Edo adalah salah satu cowok terfavorit di sekolah karna wajahnya yang tampan itu. Banyak gadis gadis cantik yang mengincarnya namun dia tolak mentah mentah dengan alasan sebentar lagi mau ujian.

Dia sangat akrab denganku, kedua orang tua kami juga berteman baik. Kami sering menghabiskan waktu bersama sama, mulai dari nonton tv bareng, pergi bareng, main bareng dan jika diantara kami ada yang sedang berulang tahun makan kami pun akan merayakannya.

Pada saat ulang tahunku yang ke 16, tepatnya tanggal 18 Desember, kami pun kembali merayakannya. Saat itu hari sudah malam, aku kira dia melupakannya, aku pun merasa sedikit kecewa. Tak disangka dia datang ke rumahku saat jarum jam menunjukkan pukul 21.00 p.m.

Tokk…tokk…tokk… Ibuku pun membukakannya pintu, saat itu aku sedang di kamar membaca novel. “Edo…ada apa malam malam begini kemari?” tanya ibuku, “Idanya ada tante?” tanya Edo, “Dia ada di kamarnya, masuk aja, dia lagi baca novel” jawab ibuku.

Dia masuk begitu saja tanpa mengetuk pintu kamarku terlebih dahulu. “Serius amat bacanya” katanya sembari merebut novel yang sedang kubaca. “Ada apa lho kemari?” aku memasang raut wajah cemberut. “Lho marah ya, sorry gue lupa kalau hari ini hari ulang tahun lho” dia tersenyum tipis, aku tetap saja memasang muka cemberut.

“Wajah lho kayak katak seberang kalo lagi cemberut” buhsyet… dia bilang wajahku kayak katak seberang, bearti jelek banget donk.

“Lho tau sekarang pukul berapa?” tanyaku yang mulai menatap wajahnya. “Sorry, gue tadi lupa banget karna hari ini gue harus ngebantu nyokap bersihin kebun bunga, setelah itu gue harus ngebantu bokap cuci mobil abis itu….”

“Udah…udah…udah…alasan lho banyak amat”  kataku, dia malah nyengir. “Lain kali awas ya kalo sampe lupa lagi, gue bakalan marah lebih parah dari ini” ancamku, “Iya Ida unyu unyu” katanya sembari mencubit kedua pipiku.

“Sekarang mana kadonya” pintaku, “Opsss, gue lupa” jawabnya ringan, “Edo….!!!” Teriakku. “Tenang, tenang, gue bakalan mainin gitar khusus buat lho” katanya dan mengambil gitar yang ada di pojok kamarku.
“Tapi lho harus nyanyi” pintanya, “Nyanyi aja ndiri” ujarku.
“Ayolah,,, bukankah lho suka nyanyi walaupun suara lho cempreng”
“Apa kata lho?!” aku melototinya, dia menyengir sembari mengangkat jari telunjuk dan tengahnya membentuk huruf v. “Baiklah gue akan nyanyi, lho maunya lagu apa…?” tanyaku, “Tinggal kenangan, Geby” jawabnya singkat.

“Nggak ah, kenapa harus lagu itu, dari sekian banyak lagu kenapa lho milih yang itu” protesku, “Saat ini gue pengen dengar lho nyanyi lagu itu” jawabnya. “Nggak ah, gue mau lagu yang lain” kataku.

“Pokoknya harus lagu itu” katanya. “Yang nyanyi siapa?” tanyaku.

“Yang mainin gitarnya siapa?” tanyanya balik, benar benar menjengkelkan. Tapi aku pun akhirnya mau menyanyikan lagu itu.

Seminggu setelah hari itu, kami pun pergi ke sekolah bersama sama dengan mengenakan seragam olah raga karna jam pertama adalah jam olah raga.

Ketika lonceng tanda masuk berbunyi, kami pun bergegas menuju lapangan. Setelah menghabiskan waktu tiga puluh menit di lapangan, tiba tiba saja hidung Edo berdarah. “Do, lho kenapa?” tanyaku.
“Gue nggak apa apa, ini cuma karna kelelahan” jawabnya sembari mengelap darah yang terus keluar dari hidungnya itu. “Benar?” tanyaku memastikan, dia mengangguk mantap. Tidak lama kemudian Edo pun pingsan. “Do!!…Edo!!…”, “Pak, Edo pingsan!” teriakku, Pak Robi dan teman teman lainnya pun berhamburan ke arahku. Kami pun segera membawanya ke UKS, dengan obat seadanya, kami pun mulai mengobatinya.

Kejadian itu kembali terulang hingga beberapa minggu berikutnya. “Do, lho sebenarnya sakit apa? Kenapa setiap olah raga lho selalu pingsan?” tanyaku, “Itu karna gue nggak sarapan” jawabnya. “Tapi kalo cuma karna nggak sarapan kenapa hidung lho berdarah?” tanyaku, “Itu karna gue kelelahan, akhir akhir ini gue sangat sibuk” jawabnya.

Aku sama sekali tidak menaruh kecurigaan apapun padanya. Ketika di ruang kelas, ada guru baru yang sangat cantik, muda dan juga seksi. “Do, lho gait tu guru, lumayan kan bebas ngerjain tugas” kataku, dia pun mengambil sisir dari dalam tasku.

Lalu ia pun menyisir rambutnya, “Do, rambut lho kenapa pada rontok” kataku sembari mengambil rambutnya yang berjatuhan, “Akh… hari ini aku lupa memakai shampo anti rontok” jawabnya. “Tapi kali ini rontoknya nggak kayak biasanya, yang ini lebih banyak dari sebelumnya” kataku. “Maklum udah dua hari gue nggak pake shampoo” katanya.

“Dasar,,, seharusnya lho nggak ngelupain hal sekecil itu” kataku, “Gue tadi terburu buru” jawabnya. “Sudah, cepat sana, gait tu guru dengan trik terjitu lho” suruhku. “Oke” jawabnya dan berjalan menghampiri guru itu, aku hanya senyam senyum memperhatikan sikapnya yang tidak berubah sama sekali dari kecil.

Sebulan kemudian kami sudah selesai menjalani ujian, tinggal menunggu pengumuman kelulusan. Seperti biasa, bila waktu menunjukkan pukul 20.00 p.m dia selalu datang ke rumahku.
“Da, kita nyanyi yuk” ajaknya, “Lagu apa?” tanyaku, “Tinggal Kenangan, Geby” jawabnya, “Lagu itu lagi? Kenapa sih lho akhir akhir ini selalu aja minta dinyanyiin lagu itu” gumamku, “Gue suka dengar Lho nyanyiin lagu itu”

“Lho kan tau suara gue cempreng abis” kataku, “Tapi gue suka dengar lho nyanyi lagu itu” katanya. “Da, janji ya lain kali nyanyiin lagu itu kalo gue nggak ada” tambahnya.
Aku tersentak mendegarnya, “Emangnya lho mau kemana? Apa lho mau pindah rumah? Gue bakalan sendirian donk” kataku, dia hanya tersenyum simpul sambil menggeleng. “Lalu kenapa lho bicara kayak gitu?” tanyaku, “Nggak ada apa apa kok, gue mau lho nyanyiin lagu itu di setipa lho ada waktu” katanya. “Iya, iya , gue janji” jawabku ringan. Aku pun mulai bernyanyi diiringi suara gitar yang dimanikan Edo.  Selesai bernyanyi kami pun kembali mengobrol.

“Kalo kita lulus nanti, lho mau kuliah kemana?” tanyaku, “Kalo lho mau kemana?” tanyanya balik, “UNTAN, gue ingin kita kuliah di tempat yang sama” jawabku. “Gue juga pengennya kayak gitu” ujarnya ringan.

“Semoga aja kita berdua lulus” kataku, “Amin….” Katanya, “Ayo nyanyi lagi” tambahnya dan dia kembali bermain gitar.

Detik detik pengumuman kelulusan pun tiba, hari ini Edo tidak datang dengan alasan kurang enak badan. Terpaksa aku yang harus mengambilkan amplop untuknya. Tidak disangka dia lulus dengan nilai terbaik. Aku pun pulang dengan perasaan gembira yang tiada tara. Bahkan mungkin tidak ada orang yang lebih bahagia selain diriku saat itu.

Aku tidak pulang ke rumahku terlebih dahulu melainkan langsung ke rumah Edo karna tidak sabar ingin memberitahukan kabar gembira ini padanya. Begitu tiba di depan rumahnya aku langsung menghentikan langkah kakiku karna kulihat banyak orang di rumahnya.

Dengan perasaan heran aku pun melangkahkan kaki memasuki rumahnya. “Do, lho tau nggak gue ada kabar gembira ni buat lho” kataku semangat. Kulihat kedua orang tuaku dan orang tua Edo menangis. Banyak orang yang duduk di samping kedua orang tua kami.

“Ada apa ini, pa, ma, kalian kenapa menangis? Om, tante, Edonya mana?” tanyaku polos tanpa menatap apa yang ada di depan mereka.

“I…i…itu s…siapa…?” tanyaku gugup ketika melihat sosok seseorang terbujur kaku di hadapan mereka. “Ida…” kata ibuku dengan suara yang parau. “Ada apa ma? Edo mana? Dan orang itu siapa?” tanyaku keheranan, “Kemarilah, Da” kata ibu Edo dan membuka kain penutup tubuh yang terbaring di depan mereka itu.

Aku menyipitkan kedua mataku mencoba mengenali orang itu. “S…s…siapa itu…? Apa i…tu Edo?” tanyaku.

Jantungku berdetak kencang, aku pun mulai mendekat. Aku sangat terkejut melihat Edo memejamkan matanya dengan wajah yang pucat fasih. “Apa itu benar benar Edo?” tanyaku dan dalam seketika dadaku terasa sesak.

Aku merasa sulit untuk bernafas, aku menatap tubuhnya yang terbujur kaku. Tiba tiba saja aku merasa tubuhku sangat berat dan kakiku tidak bisa menopang tubuhku lagi sehingga aku terduduk lemas. “Do, lho bercanda kan? Lho jangan nakut nakutin gue donk” kataku dengan suara yang bergetar. Aku tersenyum kecut.

“Kemarin malam Lho bilang mau kuliah bareng gue, kenapa lho malah baring disini, ayo kita mendaftar ke UNTAN” kataku, mataku mulai berkaca kaca.

“Kalau lho gak bangun gue gak bakalan maafin lho. Do lho bisa dengar gue kan?” tanyaku, “Mata lho kenapa lho tutup rapat? Lho gak mau liat gue lagi?” aku terus bertanya padanya walaupun dia tidak meresponku sama sekali.

“Bukankah lho suka dengar gue nyanyi, ntar malam kita nyanyi lagi tapi lho harus buka mata lho” kataku lagi, aku pun mulai menggoyang goyangkan tubuhnya. “Do, tubuh lho dingin banget, lho harus pindah tidurnya, jangan disini, nanti tambah dingin” aku pun menyelimuti tubuhnya dengan jacket yang kupakai.

“Do….Edo…Edo…” Setelah bersusah payah aku membendung air mataku, kali ini aku sudah tidak kuat lagi membendungnya dan air mataku pun tumpah seketika.

“Do…hiks…hiks…lho kenapa gak bilang mau pergi jauh…? Lho jahat do…. Hiks hiks” Entah apa yang terjadi setelah itu, aku sudah tidak ingat lagi bagaimana proses pemakaman Edo. Yang jelas sekarang aku tengah terbaring di tempat tidurku.

Hari mulai berganti minggu namun aku masih tidak mau keluar dari kamarku. Tidak makan, tidak mandi, tidak melakukan aktivitas seperti biasanya dan hari hariku kuhabiskan hanya untuk tidur.
Setiap aku memandang seisi kamarku, aku selalu teringat akan sosok Edo, karna itulah aku lebih memilih menghabiskan waktuku untuk tidur dengan harapan bisa melupakannya walaupun hanya untuk sekejap.

Karna berhari hari aku hanya tidur dan menangis, mataku terasa sembab dan aku merasa sulit untuk memejamkan mataku. Aku menatap gitar yang ada di pojok kamarku, air mataku kembali tumpah berharap ia menghiburku dengan menyanyikan sebuah lagu. Entah kapan aku mengambilnya, yang jelas sekarang gitar itu sudah berada di tanganku.

Aku pun kembali menatap lekat gitar itu dan air mataku kembali tumpah untuk kesekian kalinya, tanpa sengaja aku menemukan sesuatu di dalam gitar. Sebelumnya aku tidak pernah melihatnya, lalu aku pun mengambilnya. Ternyata itu adalah sebuah kertas yang terlipat rapi. Aku pun segera membukanya dan membacanya.

‘Da, lho tau gak, gue tu adalah orang paling bahagia di dunia saat ini karna bisa punya teman sebaik lho. Ya walaupun lho suka marah marah sama gue tapi jujur gue sangat suka liat wajah lho marah. Da, sorry kita gak bisa lagi menghabiskan waktu bersama sama, mulai sekarang lho harus melakukan sesuatu sendirian. Jangan suka bergadang hanya untuk membaca novel, jangan suka memanjat pohon sendirian karna kalo lho jatuh gak ada lagi yang bisa membantu lho. Da, sorry gue gak bisa kasih tahu lho tentang penyakit gue. Gue gak mau liat lho sedih. Jangan lupa janji lho untuk terus nyanyiin lagu Tinggal Kenangan di setiap lho ada waktu. Dan yang paling penting jangan lupain gue. Jangan pernah lagi menunggu surat surat yang tidak penting dari gue karna mungkin inilah surat terakhir gue untuk lho. Da, jangan sedih setelah gue ninggalin dunia ini, lho harus bisa tanpa gue. Harus!! Bisa!!’
Sahabatmu Tercinta,

Ego 

Setelah membaca surat itu, aku termangu dengan bersimbah air mata. Aku merasa hidupku hampa, otakku kosong, aku bahkan berubah menjadi gadis yang tidak peduli pada penampilan karna aku malas untuk berdandan. Dari hari ke hari sikapku semakin berubah 180 derajat. Orang tuaku tidak bisa melakukan apa apa terhadap perubahanku. Mereka hanya bersabar menyikapinya. Sekarang, aku mulai melupakan kesedihanku namun aku tidak pernah melupakannya. Sampai kapanpun dia adalah teman terbaikku dan tidak ada yang bisa menggantikannya. 


No comments:

Post a Comment